Kamis, 31 Mei 2012

Perhimpunan Indonesia (PI)

Perhimpunan Indonesia berdiri pada tahun 1908 oleh orang-orang Indonesia yang berada di Belanda, antara lain Sutan Kasayangan dan R.N. Noto Suroto. Mula-mula organisasi itu bernama Indische Vereeniging. Tujuannya adalah memajukan kepentingan-kepentingan bersama orang-orang pribumi dan non-pribumi bukan Eropa di negeri Belanda. Pada mulanya, organisasi tersebut hanya organisasi sosial. Akan tetapi, sejak berakhirnya Perang Dunia I perasaan anti kolonialisme dan imperialisme di kalangan pemimpin-pemimpin Indische Vereeniging semakin menonjol. Lebih-lebih sejak adanya seruan presiden Amerika Woodrow Wilson tentang hak untuk menentukan nasib sendiri, sehingga keinginan para pelajar Indonesia untuk merdeka dari penjajahan Belanda semakin kuat.



Pada tahun 1922, Indische Vereeniging berubah nama menjadi Indonesische Vereeniging. Sejak tahun 1925, selain nama dalam bahasa Belanda juga digunakan nama dalam bahasa Indonesia, yaitu Perhimpunan Indonesia. Dalam perkembangannya, hanya nama Perhimpunan Indonesia (PI) saja yang dipakai. Oleh karena itu, semakin tegas bahwa PI bergerak dalam bidang politik.

Untuk menyebarkan semangat perjuangannya, PI menerbitkan majalah Hindia Putra. Dalam majalah tersebut, pada bulan Maret 1923 disebutkan asas PI adalah mengusahakan suatu pemerintahan untuk Indonesia, yang bertnggung jawab hanya kepada rakyat Indonesia semata-mata, bahwa hal yang demikian itu hanya akan dicapai oleh orang Indonesia sendiri bukan dengan pertolongan siapa pun juga; bahwa segala jenis perpecahan tenaga haruslah dihidarkan supaya tujuan lekas tercapai. Pada tahun 1924, majalah Hindia Putra diubah namanya menjadi Indonesia Merdeka.

Meningkatnya kegiatan ke arah politik terutama sejak kedatangan dua orang mahasiswa Indonesia yang belajar ke Belanda, yaitu Ahmad Subardjo pada tahun 1919 Moh. Hatta pada tahun 1921. Pada tahun 1925 dibuatlah anggaran dasar baru yang merupakan penegasan dari perjuangan PI. Di dalamanya disebutkan bahwa kemerdekaan penuh bagi bangsa Indonesia hanya akan diperoleh dengan aksi bersama yang akan dilakukan secara serentak oleh seluruh kaum nasionalis dan berdasarkan kekuatan sendiri. Untuk itu, sangat diperlukan kekompakan rakyat seluruhnya.

Kegiatan PI kemudian meningkat menjadi nasional-demokratis, non-koperasi, bahkan anti-kolonial da bersifat internasional. Dalam bidang internasional inilah, kegiatan PI bertemu dengan perkumpulan-perkumpulan pemuda yang berasal dari negeri-negeri jajahan di Asia dan Afrika yang memiliki cita-cita yang sama dengan Indonesia. PI tampaknya juga berusaha agar masalah Indonesia mendapatkan perhatian dari dunia internasional. Oleh karena itu, hubungan dengan beberapa organisasi internasional diadakan, seperti Liga Penentang Imperialisme dan Penindasan Kolonial, Liga Demokrasi Internasional untuk Perdamaian, Perkumpulan Studi Peradaban, Komintern, bahkan dengan All Indian National Congress.

Kedatangan tokoh-tokoh pergerakan nasional yang menjalani hukuman buang ke Belanda semakin meningkatkan semangat radikal dan progresif dari anggota-anggota PI. Tokoh-tokoh yang menjalani hukuman buang tersebut misalnya Douwes Dekker, Cipto Mangunkusumo, Suwardi Suryaningrat, Semaun, dan Darsono.

Dalam Liga ke-6 Liga Demokrasi Internasional untuk Perdamaian pada bulan Agustus 1926 di Paris, Perancis, Moh. Hatta dengan tegas menyatakan tuntutan kemerdekaan Indonesia. Kejadian ini menyebabkan pemerintah Belanda semakin curiga terhadap PI. Kecurigaan ini bertambah lagi sewaktu Moh. Hatta atas nama PI menandatangani suatu perjanjian (rahasia) dengan Semaun (PKI) pada tanggal 5 Desember 1926. Isi Perjanjian itu menyatakan bahwa PKI mengakui kepemimpinan PI dan akan dikembangkan menjadi partai rakyat kebangsaan Indonesia, selama PI secara konsekuen tetap menjalankan politik untuk kemerdekaan Indonesia. Karena dinilai oleh Komintern suatu kesalahan besar, perjanjian itu dibatalkan kembali oleh Semaun.

Kegiatan PI di kalangan Internasional menimbulkan reaksi keras dari pemerintahan Belanda. Atas tuduhan menghasut di muka umum untuk memberontak, pada tanggal 10 Juni 1927 empat anggota PI, yaitu Moh. Hatta, Nazir Datuk Pamontjak, Abdul Majid Djojodiningrat, dan Ali Sastroamidjojo ditangkap dan ditahan hingga tanggal 8 Maret 1928. Namun dalam pemeriksaan di sidang pengadilan Den Haag tanggal 22 Maret 1928, mereka tidak terbukti bersalah sehingga dibebaskan.

Dalam kalangan pergerakan nasional di Indonesia, pengaruh PI cukup besar. Beberapa organisasi pergerakan nasional lahir karena mendapatkan inspirasi dari PI, seperti Perhimpunan Pelajar-Pelajar Indonesia (PPPI) tahun 1926, Partai Nasional Indonesia (PNI) tahun 1927, dan Jong Indonesia (Pemuda Indonesia) tahun 1927.

1 komentar: